Proses
Syar’i Sebuah Pernikahan
(ditulis
oleh: Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim Al-Atsari)
Proses mencari jodoh dalam Islam bukanlah “membeli
kucing dalam karung” sebagaimana sering dituduhkan. Namun justru diliputi oleh
perkara yang penuh adab. Bukan “coba dulu baru beli” kemudian “habis manis
sepah dibuang”, sebagaimana jamaknya pacaran kawula muda di masa sekarang.
Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang
tatacara ataupun proses sebuah pernikahan yang berlandaskan Al-Qur`an dan
As-Sunnah yang shahih. Berikut ini kami bawakan perinciannya:
1. Mengenal calon pasangan hidup
Sebelum seorang lelaki memutuskan untuk menikahi
seorang wanita, tentunya ia harus mengenal terlebih dahulu siapa wanita yang
hendak dinikahinya, begitu pula sebaliknya si wanita tahu siapa lelaki yang
berhasrat menikahinya. Tentunya proses kenal-mengenal ini tidak seperti yang
dijalani orang-orang yang tidak paham agama, sehingga mereka menghalalkan
pacaran atau pertunangan dalam rangka penjajakan calon pasangan hidup, kata mereka.
Pacaran dan pertunangan haram hukumnya tanpa kita sangsikan.
Adapun mengenali calon pasangan hidup di sini
maksudnya adalah mengetahui siapa namanya, asalnya, keturunannya, keluarganya,
akhlaknya, agamanya dan informasi lain yang memang dibutuhkan. Ini bisa
ditempuh dengan mencari informasi dari pihak ketiga, baik dari kerabat si
lelaki atau si wanita ataupun dari orang lain yang mengenali si lelaki/si
wanita.
Yang perlu menjadi perhatian, hendaknya hal-hal
yang bisa menjatuhkan kepada fitnah (godaan setan) dihindari kedua belah pihak
seperti bermudah-mudahan melakukan hubungan telepon, sms, surat-menyurat,
dengan alasan ingin ta’aruf (kenal-mengenal) dengan calon suami/istri.
Jangankan baru ta’aruf, yang sudah resmi meminang pun harus menjaga dirinya
dari fitnah. Karenanya, ketika Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan
hafizhahullah ditanya tentang pembicaraan melalui telepon antara seorang pria
dengan seorang wanita yang telah dipinangnya, beliau menjawab, “Tidak apa-apa
seorang laki-laki berbicara lewat telepon dengan wanita yang telah dipinangnya,
bila memang pinangannya telah diterima dan pembicaraan yang dilakukan dalam
rangka mencari pemahaman sebatas kebutuhan yang ada, tanpa adanya fitnah. Namun
bila hal itu dilakukan lewat perantara wali si wanita maka lebih baik lagi dan
lebih jauh dari keraguan/fitnah. Adapun pembicaraan yang biasa dilakukan
laki-laki dengan wanita, antara pemuda dan pemudi, padahal belum berlangsung
pelamaran di antara mereka, namun tujuannya untuk saling mengenal, sebagaimana
yang mereka istilahkan, maka ini mungkar, haram, bisa mengarah kepada fitnah
serta menjerumuskan kepada perbuatan keji. Allah berfirman:
“Maka janganlah kalian tunduk (lembut mendayu-dayu)
dalam berbicara sehingga berkeinginan jeleklah orang yang di hatinya ada
penyakit dan ucapkanlah ucapan yang ma’ruf.” (Al-Ahzab: 32)
Seorang wanita tidak sepantasnya berbicara dengan
laki-laki ajnabi kecuali bila ada kebutuhan dengan mengucapkan perkataan yang
ma’ruf, tidak ada fitnah di dalamnya dan tidak ada keraguan (yang membuatnya
dituduh macam-macam).” (Al-Muntaqa min Fatawa Fadhilatusy Syaikh Shalih bin
Fauzan 3/163-164)
Beberapa hal yang perlu diperhatikan
Ada beberapa hal yang disenangi bagi laki-laki
untuk memerhatikannya:
q Wanita itu shalihah, karena Nabi n bersabda:
تُنْكَحُ النِّسَاءُ لِأَرْبَعَةٍ: لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَلِهَا
وَلِدِيْنِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
“Wanita itu (menurut kebiasaan yang ada, pent.)
dinikahi karena empat perkara, bisa jadi karena hartanya, karena keturunannya,
karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah olehmu wanita yang
memiliki agama. Bila tidak, engkau celaka.” (HR. Al-Bukhari no. 5090 dan Muslim
no. 3620 dari Abu Hurairah z)
q Wanita itu subur rahimnya. Tentunya bisa
diketahui dengan melihat ibu atau saudara perempuannya yang telah menikah.
Rasulullah n pernah bersabda:
تَزَوَّجُوْا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ، فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمْ
“Nikahilah oleh kalian wanita yang penyayang lagi
subur, karena aku berbangga-bangga di hadapan umat yang lain pada kiamat dengan
banyaknya jumlah kalian.” (HR. An-Nasa`i no. 3227, Abu Dawud no. 1789,
dishahihkan Al-Imam Al-Albani t dalam Irwa`ul Ghalil no. 1784)
q Wanita tersebut masih gadis1, yang dengannya akan
dicapai kedekatan yang sempurna.
Jabir bin Abdillah c ketika memberitakan kepada
Rasulullah n bahwa ia telah menikah dengan seorang janda, beliau n bersabda:
فَهَلاَّ جَارِيَةً تُلاَعِبُهَا وَتُلاَعِبُكَ؟
“Mengapa engkau tidak menikah dengan gadis hingga
engkau bisa mengajaknya bermain dan dia bisa mengajakmu bermain?!”
Namun ketika Jabir mengemukakan alasannya, bahwa ia
memiliki banyak saudara perempuan yang masih belia, sehingga ia enggan
mendatangkan di tengah mereka perempuan yang sama mudanya dengan mereka sehingga
tak bisa mengurusi mereka, Rasulullah n memujinya, “Benar apa yang engkau
lakukan.” (HR. Al-Bukhari no. 5080, 4052 dan Muslim no. 3622, 3624)
Dalam sebuah hadits, Rasulullah n bersabda:
عَلَيْكُمْ بِالْأَبْكَارِ، فَإِنَّهُنَّ أَعْذَبُ أَفْوَاهًا وَأَنْتَقُ
أَرْحَامًا وَأَرْضَى بِالْيَسِيْرِ
“Hendaklah kalian menikah dengan para gadis karena
mereka lebih segar mulutnya, lebih banyak anaknya, dan lebih ridha dengan yang
sedikit.” (HR. Ibnu Majah no. 1861, dihasankan Al-Imam Al-Albani t dalam
Ash-Shahihah no. 623)
2. Nazhor (melihat calon pasangan hidup)
Seorang wanita pernah datang kepada Rasulullah n
untuk menghibahkan dirinya. Si wanita berkata:
ياَ رَسُوْلَ اللهِ، جِئْتُ أَهَبُ لَكَ نَفْسِي. فَنَظَرَ إِلَيْهَا رَسُوْلُ
اللهِ n فَصَعَّدَ النَّظَرَ فِيْهَا وَصَوَّبَهُ، ثُمَّ طَأْطَأَ رَسُوْلُ اللهِ n رًأْسَهُ
“Wahai Rasulullah! Aku datang untuk menghibahkan
diriku kepadamu.” Rasulullah n pun melihat ke arah wanita tersebut. Beliau
mengangkat dan menurunkan pandangannya kepada si wanita. Kemudian beliau
menundukkan kepalanya. (HR. Al-Bukhari no. 5087 dan Muslim no. 3472)
Hadits ini menunjukkan bila seorang lelaki ingin
menikahi seorang wanita maka dituntunkan baginya untuk terlebih dahulu melihat
calonnya tersebut dan mengamatinya. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 9/215-216)
Oleh karena itu, ketika seorang sahabat ingin
menikahi wanita Anshar, Rasulullah n menasihatinya:
انْظُرْ إِلَيْهَا، فَإِنَّ فِي أَعْيُنِ الْأَنْصَارِ شَيْئًا، يَعْنِي
الصِّغَرَ
“Lihatlah wanita tersebut, karena pada mata orang-orang
Anshar ada sesuatu.” Yang beliau maksudkan adalah mata mereka kecil. (HR.
Muslim no. 3470 dari Abu Hurairah z)
Demikian pula ketika Al-Mughirah bin Syu’bah z
meminang seorang wanita, Rasulullah n bertanya kepadanya, “Apakah engkau telah
melihat wanita yang kau pinang tersebut?” “Belum,” jawab Al-Mughirah.
Rasulullah n bersabda:
انْظُرْ إِلَيْهَا، فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا
“Lihatlah wanita tersebut, karena dengan seperti
itu akan lebih pantas untuk melanggengkan hubungan di antara kalian berdua
(kelak).” (HR. An-Nasa`i no. 3235, At-Tirmidzi no.1087. Dishahihkan Al-Imam
Al-Albani t dalam Ash-Shahihah no. 96)
Al-Imam Al-Baghawi t berkata, “Dalam sabda
Rasulullah n kepada Al-Mughirah z: “Apakah engkau telah melihat wanita yang kau
pinang tersebut?” ada dalil bahwa sunnah hukumnya ia melihat si wanita sebelum
khitbah (pelamaran), sehingga tidak memberatkan si wanita bila ternyata ia
membatalkan khitbahnya karena setelah nazhor ternyata ia tidak menyenangi si
wanita.” (Syarhus Sunnah 9/18)
Bila nazhor dilakukan setelah khitbah, bisa jadi
dengan khitbah tersebut si wanita merasa si lelaki pasti akan menikahinya.
Padahal mungkin ketika si lelaki melihatnya ternyata tidak menarik hatinya lalu
membatalkan lamarannya, hingga akhirnya si wanita kecewa dan sakit hati.
(Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 9/214)
Sahabat Muhammad bin Maslamah z berkata, “Aku
meminang seorang wanita, maka aku bersembunyi untuk mengintainya hingga aku
dapat melihatnya di sebuah pohon kurmanya.” Maka ada yang bertanya kepada Muhammad,
“Apakah engkau melakukan hal seperti ini padahal engkau adalah sahabat
Rasulullah n?” Kata Muhammad, “Aku pernah mendengar Rasulullah n bersabda:
إِذَا أَلْقَى اللهُ فيِ قَلْبِ امْرِئٍ خِطْبَةَ امْرَأَةٍ، فَلاَ بَأْسَ
أَنْ يَنْظُرَ إِلَيْهَا
“Apabila Allah melemparkan di hati seorang lelaki
(niat) untuk meminang seorang wanita maka tidak apa-apa baginya melihat wanita
tersebut.” (HR. Ibnu Majah no. 1864, dishahihkan Al-Imam Al-Albani t
dalam Shahih Ibni Majah dan Ash-Shahihah no. 98)
Al-Imam Al-Albani t berkata, “Boleh melihat wanita
yang ingin dinikahi walaupun si wanita tidak mengetahuinya ataupun tidak
menyadarinya.” Dalil dari hal ini sabda Rasulullah n:
إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً، فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَنْظُرَ
إِلَيْهَا إِذَا كَانَ إِنَّمَا يَنْظُرُ إِلَيْهَا لِخِطْبَتِهِ، وَإِنْ كَانَتْ
لاَ تَعْلَمُ
‘Apabila seorang dari kalian ingin meminang seorang
wanita, maka tidak ada dosa baginya melihat si wanita apabila memang tujuan
melihatnya untuk meminangnya, walaupun si wanita tidak mengetahui (bahwa
dirinya sedang dilihat).” (HR. Ath-Thahawi, Ahmad 5/424 dan Ath-Thabarani dalam
Al-Mu’jamul Ausath 1/52/1/898, dengan sanad yang shahih, lihat Ash-Shahihah
1/200)
Pembolehan melihat wanita yang hendak dilamar
walaupun tanpa sepengetahuan dan tanpa seizinnya ini merupakan pendapat yang
dipegangi jumhur ulama.
Adapun Al-Imam Malik t dalam satu riwayat darinya
menyatakan, “Aku tidak menyukai bila si wanita dilihat dalam keadaan ia tidak
tahu karena khawatir pandangan kepada si wanita terarah kepada aurat.” Dan
dinukilkan dari sekelompok ahlul ilmi bahwasanya tidak boleh melihat wanita
yang dipinang sebelum dilangsungkannya akad karena si wanita masih belum jadi
istrinya. (Al-Hawil Kabir 9/35, Syarhul Ma’anil Atsar 2/372, Al-Minhaj Syarhu
Shahih Muslim 9/214, Fathul Bari 9/158)
Haramnya berduaan dan bersepi-sepi tanpa mahram
ketika nazhar
Sebagai catatan yang harus menjadi perhatian bahwa
ketika nazhar tidak boleh lelaki tersebut berduaan saja dan bersepi-sepi tanpa
mahram (berkhalwat) dengan si wanita. Karena Rasulullah n bersabda:
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
“Sekali-kali tidak boleh seorang laki-laki
bersepi-sepi dengan seorang wanita kecuali wanita itu bersama mahramnya.” (HR.
Al-Bukhari no. 1862 dan Muslim no. 3259)
Karenanya si wanita harus ditemani oleh salah
seorang mahramnya, baik saudara laki-laki atau ayahnya. (Fiqhun Nisa` fil
Khithbah waz Zawaj, hal. 28)
Bila sekiranya tidak memungkinkan baginya melihat
wanita yang ingin dipinang, boleh ia mengutus seorang wanita yang tepercaya
guna melihat/mengamati wanita yang ingin dipinang untuk kemudian disampaikan
kepadanya. (An-Nazhar fi Ahkamin Nazhar bi Hassatil Bashar, Ibnul Qaththan
Al-Fasi hal. 394, Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 9/214, Al-Mulakhkhash
Al-Fiqhi, 2/280)
Batasan yang boleh dilihat dari seorang wanita
Ketika nazhar, boleh melihat si wanita pada bagian
tubuh yang biasa tampak di depan mahramnya. Bagian ini biasa tampak dari si
wanita ketika ia sedang bekerja di rumahnya, seperti wajah, dua telapak tangan,
leher, kepala, dua betis, dua telapak kaki dan semisalnya. Karena adanya hadits
Rasulullah n:
إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ، فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَي
مَا يَدْعُوهُ إِلىَ نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ
“Bila seorang dari kalian meminang seorang wanita,
lalu ia mampu melihat dari si wanita apa yang mendorongnya untuk menikahinya,
maka hendaklah ia melakukannya.” (HR. Abu Dawud no. 2082 dihasankan Al-Imam
Al-Albani t dalam Ash-Shahihah no. 99)
Di samping itu, dilihat dari adat kebiasaan
masyarakat, melihat bagian-bagian itu bukanlah sesuatu yang dianggap
memberatkan atau aib. Juga dilihat dari pengamalan yang ada pada para sahabat.
Sahabat Jabir bin Abdillah c ketika melamar seorang perempuan, ia pun
bersembunyi untuk melihatnya hingga ia dapat melihat apa yang mendorongnya
untuk menikahi si gadis, karena mengamalkan hadits tersebut. Demikian juga
Muhammad bin Maslamah z sebagaimana telah disinggung di atas. Sehingga cukuplah
hadits-hadits ini dan pemahaman sahabat sebagai hujjah untuk membolehkan
seorang lelaki untuk melihat lebih dari sekadar wajah dan dua telapak tangan2.
Al-Imam Ibnu Qudamah t berkata, “Sisi kebolehan
melihat bagian tubuh si wanita yang biasa tampak adalah ketika Nabi n
mengizinkan melihat wanita yang hendak dipinang dengan tanpa sepengetahuannya.
Dengan demikian diketahui bahwa beliau mengizinkan melihat bagian tubuh si
wanita yang memang biasa terlihat karena tidak mungkin yang dibolehkan hanya
melihat wajah saja padahal ketika itu tampak pula bagian tubuhnya yang lain,
tidak hanya wajahnya. Karena bagian tubuh tersebut memang biasa terlihat.
Dengan demikian dibolehkan melihatnya sebagaimana dibolehkan melihat wajah. Dan
juga karena si wanita boleh dilihat dengan perintah penetap syariat berarti
dibolehkan melihat bagian tubuhnya sebagaimana yang dibolehkan kepada
mahram-mahram si wanita.” (Al-Mughni, fashl Ibahatun Nazhar Ila Wajhil
Makhthubah)
Memang dalam masalah batasan yang boleh dilihat
ketika nazhor ini didapatkan adanya perselisihan pendapat di kalangan ulama3.
3. Khithbah (peminangan)
Seorang lelaki yang telah berketetapan hati untuk
menikahi seorang wanita, hendaknya meminang wanita tersebut kepada walinya.
Apabila seorang lelaki mengetahui wanita yang
hendak dipinangnya telah terlebih dahulu dipinang oleh lelaki lain dan pinangan
itu diterima, maka haram baginya meminang wanita tersebut. Karena Rasulullah n
pernah bersabda:
لاَ يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ حَتَّى يَنْكِحَ أَوْ
يَتْرُكَ
“Tidak boleh seseorang meminang wanita yang telah
dipinang oleh saudaranya hingga saudaranya itu menikahi si wanita atau
meninggalkannya (membatalkan pinangannya).” (HR. Al-Bukhari no. 5144)
Dalam riwayat Muslim (no. 3449) disebutkan:
الْمُؤْمِنُ أَخُو الْمُؤْمِنِ، فَلاَ يَحِلُّ لِلْمُؤْمِنِ أَنْ يَبْتَاعَ
عَلى بَيْعِ أَخِيْهِ وَلاَ يَخْطُبَ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ حَتَّى يَذَرَ
“Seorang mukmin adalah saudara bagi mukmin yang
lain. Maka tidaklah halal baginya menawar barang yang telah dibeli oleh
saudaranya dan tidak halal pula baginya meminang wanita yang telah dipinang
oleh saudaranya hingga saudaranya meninggalkan pinangannya (membatalkan).”
Perkara ini merugikan peminang yang pertama, di
mana bisa jadi pihak wanita meminta pembatalan pinangannya disebabkan si wanita
lebih menyukai peminang kedua. Akibatnya, terjadi permusuhan di antara sesama
muslim dan pelanggaran hak. Bila peminang pertama ternyata ditolak atau
peminang pertama mengizinkan peminang kedua untuk melamar si wanita, atau
peminang pertama membatalkan pinangannya maka boleh bagi peminang kedua untuk
maju. (Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/282)
Setelah pinangan diterima tentunya ada kelanjutan
pembicaraan, kapan akad nikad akan dilangsungkan. Namun tidak berarti setelah
peminangan tersebut, si lelaki bebas berduaan dan berhubungan dengan si wanita.
Karena selama belum akad keduanya tetap ajnabi, sehingga janganlah seorang
muslim bermudah-mudahan dalam hal ini. (Fiqhun Nisa fil Khithbah waz Zawaj,
hal. 28)
Jangankan duduk bicara berduaan, bahkan ditemani
mahram si wanita pun masih dapat mendatangkan fitnah. Karenanya, ketika
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin t dimintai fatwa tentang seorang lelaki yang telah
meminang seorang wanita, kemudian di hari-hari setelah peminangan, ia biasa
bertandang ke rumah si wanita, duduk sebentar bersamanya dengan didampingi
mahram si wanita dalam keadaan si wanita memakai hijab yang syar’i.
Berbincanglah si lelaki dengan si wanita. Namun pembicaraan mereka tidak keluar
dari pembahasan agama ataupun bacaan Al-Qur`an. Lalu apa jawaban Syaikh t?
Beliau ternyata berfatwa, “Hal seperti itu tidak sepantasnya dilakukan. Karena,
perasaan pria bahwa wanita yang duduk bersamanya telah dipinangnya secara umum
akan membangkitkan syahwat. Sementara bangkitnya syahwat kepada selain istri
dan budak perempuan yang dimiliki adalah haram. Sesuatu yang mengantarkan
kepada keharaman, hukumnya haram pula.” (Fatawa Asy-Syaikh Muhammad Shalih
Al-Utsaimin, 2/748)
Yang perlu diperhatikan oleh wali
Ketika wali si wanita didatangi oleh lelaki yang
hendak meminang si wanita atau ia hendak menikahkan wanita yang di bawah
perwaliannya, seharusnya ia memerhatikan perkara berikut ini:
q Memilihkan suami yang shalih dan bertakwa. Bila
yang datang kepadanya lelaki yang demikian dan si wanita yang di bawah
perwaliannya juga menyetujui maka hendaknya ia menikahkannya karena Rasulullah
n pernah bersabda:
إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوْهُ،
إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيْضٌ
“Apabila datang kepada kalian (para wali) seseorang
yang kalian ridhai agama dan akhlaknya (untuk meminang wanita kalian) maka
hendaknya kalian menikahkan orang tersebut dengan wanita kalian. Bila kalian
tidak melakukannya niscaya akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang
besar.” (HR. At-Tirmidzi no. 1084, dihasankan Al-Imam Al-Albani t dalam
Al-Irwa` no. 1868, Ash-Shahihah no. 1022)
q Meminta pendapat putrinya/wanita yang di bawah
perwaliannya dan tidak boleh memaksanya.
Persetujuan seorang gadis adalah dengan diamnya
karena biasanya ia malu. Abu Hurairah z berkata menyampaikan hadits Rasulullah
n:
لاَ تُنْكَحُ الْأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى
تُسْتَأْذَنَ. قَالُوا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، كَيْفَ إِذْنُهَا؟ قَالَ: أَنْ
تَسْكُتَ
“Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia
diajak musyawarah/dimintai pendapat dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan
sampai dimintai izinnya.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah! Bagaimana izinnya
seorang gadis?” “Izinnya dengan ia diam,” jawab beliau. (HR. Al-Bukhari no.
5136 dan Muslim no. 3458)
4. Akad nikah
Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung
antara dua pihak yang melangsungkan pernikahan dalam bentuk ijab dan qabul.
Ijab adalah penyerahan dari pihak pertama,
sedangkan qabul adalah penerimaan dari pihak kedua. Ijab dari pihak wali si
perempuan dengan ucapannya, misalnya: “Saya nikahkan anak saya yang bernama si
A kepadamu dengan mahar sebuah kitab Riyadhus Shalihin.”
Qabul adalah penerimaan dari pihak suami dengan
ucapannya, misalnya: “Saya terima nikahnya anak Bapak yang bernama si A dengan
mahar sebuah kitab Riyadhus Shalihin.”
Sebelum dilangsungkannya akad nikah, disunnahkan
untuk menyampaikan khutbah yang dikenal dengan khutbatun nikah atau khutbatul
hajah. Lafadznya sebagai berikut:
إِنَّ الْحَمْدَ لِلهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ
وَنَتُوبُ إِلَيْهِ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ
أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا
هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَلاَّ إِلَهَ إلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ،
وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
5. Walimatul ‘urs
Melangsungkan walimah ‘urs hukumnya sunnah menurut
sebagian besar ahlul ilmi, menyelisihi pendapat sebagian mereka yang mengatakan
wajib, karena adanya perintah Rasulullah n kepada Abdurrahman bin Auf z ketika
mengabarkan kepada beliau bahwa dirinya telah menikah:
أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
“Selenggarakanlah walimah walaupun dengan hanya
menyembelih seekor kambing4.” (HR. Al-Bukhari no. 5167 dan Muslim no. 3475)
Rasulullah n sendiri menyelenggarakan walimah
ketika menikahi istri-istrinya seperti dalam hadits Anas z disebutkan:
مَا أَوْلَمَ النَّبِيُّ n عَلىَ شَيْءٍ مِنْ نِسَائِهِ مَا أَوْلَمَ عَلىَ زَيْنَبَ، أَوْلَمَ بِشَاةٍ
“Tidaklah Nabi n menyelenggarakan walimah ketika
menikahi istri-istrinya dengan sesuatu yang seperti beliau lakukan ketika
walimah dengan Zainab. Beliau menyembelih kambing untuk acara walimahnya dengan
Zainab.” (HR. Al-Bukhari no. 5168 dan Muslim no. 3489)
Walimah bisa dilakukan kapan saja. Bisa setelah
dilangsungkannya akad nikah dan bisa pula ditunda beberapa waktu sampai
berakhirnya hari-hari pengantin baru. Namun disenangi tiga hari setelah dukhul,
karena demikian yang dinukilkan dari Nabi n. Anas bin Malik z berkata, “Nabi n
menikah dengan Shafiyyah x dan beliau jadikan kemerdekaan Shafiyyah sebagai
maharnya. Beliau mengadakan walimah tiga hari kemudian.” (Al-Imam Al-Albani t
berkata dalam Adabuz Zafaf hal. 74: “Diriwayatkan Abu Ya’la dengan sanad yang
hasan sebagaimana dalam Fathul Bari (9/199) dan ada dalam Shahih Al-Bukhari
secara makna.”)
Hendaklah yang diundang dalam acara walimah
tersebut orang-orang yang shalih, tanpa memandang dia orang kaya atau orang
miskin. Karena kalau yang dipentingkan hanya orang kaya sementara orang
miskinnya tidak diundang, maka makanan walimah tersebut teranggap sejelek-jelek
makanan. Rasulullah n bersabda:
شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيْمَةِ، يُدْعَى إِلَيْهَا الْأَغْنِيَاءُ
وَيُتْرَكُ الْمَسَاكِيْنُ
“Sejelek-jelek makanan adalah makanan walimah di
mana yang diundang dalam walimah tersebut hanya orang-orang kaya sementara
orang-orang miskin tidak diundang.” (HR. Al-Bukhari no. 5177 dan Muslim no.
3507)
Pada hari pernikahan ini disunnahkan menabuh duff (sejenis
rebana kecil, tanpa keping logam di sekelilingnya -yang menimbulkan suara
gemerincing-, ed.) dalam rangka mengumumkan kepada khalayak akan adanya
pernikahan tersebut. Rasulullah n bersabda:
فَصْلُ مَا بَيْنَ الْحَلاَلِ وَالْحَرَامِ الدُّفُّ وَالصَّوْتُ فِي
النِّكَاحِ
“Pemisah antara apa yang halal dan yang haram
adalah duff dan shaut (suara) dalam pernikahan.” (HR. An-Nasa`i no. 3369, Ibnu
Majah no. 1896. Dihasankan Al-Imam Al-Albani t dalam Al-Irwa` no. 1994)
Adapun makna shaut di sini adalah pengumuman
pernikahan, lantangnya suara dan penyebutan/pembicaraan tentang pernikahan
tersebut di tengah manusia. (Syarhus Sunnah 9/47,48)
Al-Imam Al-Bukhari t menyebutkan satu bab dalam
Shahih-nya, “Menabuh duff dalam acara pernikahan dan walimah” dan membawakan
hadits Ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz x yang mengisahkan kehadiran Rasulullah n
dalam pernikahannya. Ketika itu anak-anak perempuan memukul duff sembari
merangkai kata-kata menyenandungkan pujian untuk bapak-bapak mereka yang
terbunuh dalam perang Badr, sementara Rasulullah n mendengarkannya. (HR.
Al-Bukhari no. 5148)
Dalam acara pernikahan ini tidak boleh memutar
nyanyian-nyanyian atau memainkan alat-alat musik, karena semua itu hukumnya
haram.
Disunnahkan bagi yang menghadiri sebuah pernikahan
untuk mendoakan kedua mempelai dengan dalil hadits Abu Hurairah z, ia berkata:
أَنَّ النَّبِيَّّ n كاَنَ إِذَا رَفَّأَ الْإِنْسَاَن، إِذَا تَزَوَّجَ قَالَ: بَارَكَ اللهُ لَكَ
وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِي خَيْرٍ
“Adalah Nabi n bila mendoakan seseorang yang
menikah, beliau mengatakan: ‘Semoga Allah memberkahi untukmu dan memberkahi
atasmu serta mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan’.” (HR. At-Tirmidzi no.
1091, dishahihkan Al-Imam Al-Albani t dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)
6. Setelah akad
Ketika mempelai lelaki telah resmi menjadi suami
mempelai wanita, lalu ia ingin masuk menemui istrinya maka disenangi baginya
untuk melakukan beberapa perkara berikut ini:
Pertama: Bersiwak terlebih dahulu untuk
membersihkan mulutnya karena dikhawatirkan tercium aroma yang tidak sedap dari
mulutnya. Demikian pula si istri, hendaknya melakukan yang sama. Hal ini lebih
mendorong kepada kelanggengan hubungan dan kedekatan di antara keduanya.
Didapatkan dari perbuatan Rasulullah n, beliau bersiwak bila hendak masuk rumah
menemui istrinya, sebagaimana berita dari Aisyah x (HR. Muslim no. 590).
Kedua: Disenangi baginya untuk menyerahkan mahar
bagi istrinya sebagaimana akan disebutkan dalam masalah mahar dari hadits Ibnu
‘Abbas c.
Ketiga: Berlaku lemah lembut kepada istrinya,
dengan semisal memberinya segelas minuman ataupun yang semisalnya berdasarkan
hadits Asma` bintu Yazid bin As-Sakan x, ia berkata, “Aku mendandani Aisyah x
untuk dipertemukan dengan suaminya, Rasulullah n. Setelah selesai aku memanggil
Rasulullah n untuk melihat Aisyah. Beliau pun datang dan duduk di samping
Aisyah. Lalu didatangkan kepada beliau segelas susu. Beliau minum darinya
kemudian memberikannya kepada Aisyah yang menunduk malu.” Asma` pun menegur
Aisyah, “Ambillah gelas itu dari tangan Rasulullah n. Aisyah pun mengambilnya
dan meminum sedikit dari susu tersebut….”seorang budak maka hendaklah ia
memegang ubun-ubunnya, menyebut nama Allah k, mendoakan keberkahan dan
mengatakan: ‘Ya Allah, aku meminta kepada-Mu dari kebaikannya dan kebaikan apa
yang Engkau ciptakan/tabiatkan dia di atasnya dan aku berlindung kepada-Mu dari
kejelekannya dan kejelekan apa yang Engkau ciptakan/tabiatkan dia di atasnya’.”
(HR. Abu Dawud no. 2160, dihasankan Al-Imam Al-Albani t dalam Shahih Sunan Abi
Dawud)
Kelima: Ahlul ‘ilmi ada yang memandang setelah dia
bertemu dan mendoakan istrinya disenangi baginya untuk shalat dua rakaat
bersamanya. Hal ini dinukilkan dari atsar Abu Sa’id maula Abu Usaid Malik bin
Rabi’ah Al-Anshari. Ia berkata: “Aku menikah dalam keadaan aku berstatus budak.
Aku mengundang sejumlah sahabat Nabi n, di antara mereka ada Ibnu Mas’ud, Abu
Dzar, dan Hudzaifah g. Lalu ditegakkan shalat, majulah Abu Dzar untuk
mengimami. Namun orang-orang menyuruhku agar aku yang maju. Ketika aku
menanyakan mengapa demikian, mereka menjawab memang seharusnya demikian. Aku
pun maju mengimami mereka dalam keadaan aku berstatus budak. Mereka mengajariku
dan mengatakan, “Bila engkau masuk menemui istrimu, shalatlah dua rakaat.
Kemudian mintalah kepada Allah l dari kebaikannya dan berlindunglah dari
kejelekannya. Seterusnya, urusanmu dengan istrimu….” (Diriwayatkan Ibnu Abi
Syaibah dalam Al-Mushannaf, demikian pula Abdurrazzaq. Al-Imam Al-Albani t
berkata dalam Adabuz Zafaf hal. 23, “Sanadnya shahih sampai ke Abu Sa’id”).
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
1 Namun
bukan berarti janda terlarang baginya, karena dari keterangan di atas
Rasulullah n memperkenankan Jabir z memperistri seorang janda. Juga, semua
istri Rasulullah n dinikahi dalam keadaan janda, kecuali Aisyah.
2 Faedah:
Kisah Amirul Mukminin Umar ibnul Khaththab z yang menyingkap dua betis Ummu
Kultsum bintu Ali bin Abi Thalib z yang hendak dinikahinya, adalah kisah yang
dhaif (lemah), pada sanadnya ada irsal dan inqitha’. (Adh-Dha’ifah, ketika
membahas hadits no. 1273)
3 Bahkan
Al-Imam Ahmad t sampai memiliki beberapa riwayat dalam masalah ini, di
antaranya:
Pertama:
Yang boleh dilihat hanya wajah si wanita saja.
Kedua:
Wajah dan dua telapak tangan. Sebagaimana pendapat ini juga dipegangi oleh
Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Syafi’iyyah.
Ketiga:
Boleh dilihat bagian tubuhnya yang biasa tampak di depan mahramnya dan bagian
ini biasa tampak dari si wanita ketika ia sedang bekerja di rumahnya seperti
wajah, dua telapak tangan, leher, kepala, dua betis, dua telapak kaki, dan
semisalnya. Tidak boleh dilihat bagian tubuhnya yang biasanya tertutup seperti
bagian dada, punggung, dan semisal keduanya.
Keempat:
Seluruh tubuhnya boleh dilihat, selain dua kemaluannya. Dinukilkan pendapat ini
dari Dawud Azh-Zhahiri.
Kelima:
Boleh melihat seluruh tubuhnya tanpa pengecualian. Pendapat ini dipegangi pula
oleh Ibnu Hazm dan dicondongi oleh Ibnu Baththal serta dinukilkan juga dari
Dawud Azh-Zhahiri.
PERHATIAN:
Tentang pendapat Dawud Azh-Zhahiri di atas, Al-Imam An-Nawawi berkata bahwa
pendapat tersebut adalah suatu kesalahan yang nyata, yang menyelisihi prinsip
Ahlus Sunnah. Ibnul Qaththan menyatakan: “Ada pun sau`atan (yakni qubul dan
dubur) tidak perlu dikaji lagi bahwa keduanya tidak boleh dilihat. Apa yang
disebutkan bahwa Dawud membolehkan melihat kemaluan, saya sendiri tidak pernah
melihat pendapatnya secara langsung dalam buku murid-muridnya. Itu hanya
sekedar nukilan dari Abu Hamid Al-Isfirayini. Dan telah saya kemukakan
dalil-dalil yang melarang melihat aurat.”
Sulaiman
At-Taimi berkata: “Bila engkau mengambil rukhshah (pendapat yang ringan) dari
setiap orang alim, akan terkumpul pada dirimu seluruh kejelekan.”
Ibnu
Abdilbarr berkata mengomentari ucapan Sulaiman At-Taimi di atas: “Ini adalah
ijma’ (kesepakatan ulama), aku tidak mengetahui adanya perbedaan dalam hal
ini.” (Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 359)
Selain
itu ada pula pendapat berikutnya yang bukan merupakan pendapat Al-Imam Ahmad:
Keenam:
Boleh melihat wajah, dua telapak tangan dan dua telapak kaki si wanita,
demikian pendapat Abu Hanifah dalam satu riwayat darinya.
Ketujuh:
Boleh dilihat dari si wanita sampai ke tempat-tempat daging pada tubuhnya,
demikian kata Al-Auza’i. (An-Nazhar fi Ahkamin Nazhar hal. 392,393, Fiqhun
Nazhar hal. 77,78)
Al-Imam
Al-Albani t menyatakan bahwa riwayat yang ketiga lebih mendekati zahir hadits
dan mencocoki apa yang dilakukan oleh para sahabat. (Ash-Shahihah, membahas
hadits no. 99)
4 Bagi
orang yang punya kelapangan tentunya, sehingga jangan dipahami bahwa walimah
harus dengan memotong kambing. Setiap orang punya kemampuan yang berbeda.
(Syarhus Sunnah 9/135)
Ketika
Nabi n walimah atas pernikahannya dengan Shafiyyah, yang terhidang hanyalah
makanan yang terbuat dari tepung dicampur dengan minyak samin dan keju (HR.
Al-Bukhari no. 5169).
Sehingga hal ini menunjukkan boleh walimah tanpa
memotong sembelihan. Wallahu ‘alam bish-shawab
Komentar
Posting Komentar